Minggu, 15 Mei 2011

Kecenderungan Pergeseran Perilaku Bank Syariah



Perbankan adalah salah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan Indonesia berawal dari hasil lokakarya yang membahas tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua tanggal 19-22 Agustus 1990. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional (Munas) IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Secara formal keberadaan bank syariah di Indonesia dimulai sejak tahun 1992 setelah Bank Muamalat berdiri sebagai bank syariah pertama. Kemudian bank-bank konvensional diijinkan melaksanakan dual banking system dan bank konvensional diperkenankan membuka kantor layanan syariah. Saat ini sudah banyak bank konvensional membuka layanan syariah dan semakin berkembang dengan adanya permintaan masyarakat akan jasa tabungan tanpa bunga.


Namun dalam perkembangannya, perbankan syariah mengalami beberapa kendala yang membuat perbankan syariah ini tidak dapat melaju dengan pesat. Kendala-kendala tersebut seperti lambatnya dukungan Pemerintah dalam menata regulasi perbankan syariah, penghapusan double taxation yang dapat dikatakan lambat (baru dihapus tahun 2009 melalui UU No. 42/2009), kurangnya sumber daya manusia yang benar-benar kompeten dalam ekonomi syariah, rendahnya informasi tentang bank syariah dan produk-produknya, juga rendahnya sosialisasi tentang apa itu ekonomi syariah di masyarakat. Kekurangan-kekurangan ini sebenarnya sedang dalam proses menuju perbaikan. Namun karena kekurangan-kekurangan ini pencitraan tentang bank syariah di mata masyarakat menjadi kurang baik. Banyak masyarakat yang menilai bahwa tidak ada perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional. Hal ini seakan menjadi semakin ‘pas’ karena SDM yang mengelola kebanyakan bank syariah saat ini kebanyakan adalah orang-orang yang sebelumnya bekerja di bank konvensional sehingga mereka mengoperasikan bank syariah dengan kurang sempurna dan kurang bisa menonjolkan sisi-sisi kesyariahan dalam bank syariahnya. Hal ini berdampak ke berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah perbankan syariah saat ini memiliki kecenderungan menyimpang dari tujuan dan aturan syariah dalam beberapa hal. Perbankan syariah lebih cenderung menginginkan adanya fixed income atau fixed return daripada mengutamakan profit and loss sharing system yang selama ini menjadi slogan yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional. Memang, bila dikait-kaitkan, hal ini tidak lepas dari persaingan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional dimana bank konvensional masih menguasai mayoritas market share. Bank syariah membutuhkan akselerasi cepat dalam membangun asetnya demi meningkatkan market share-nya, sehingga bank syariah cenderung ingin bermain dengan ‘aman’ dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Namun bukan ini yang semestinya dilakukan oleh perbankan syariah. Sebagai sebuah varian baru dalam perbankan, bank syariah memiliki konsep operasional, tujuan dan nilai sendiri yang jelas berbeda dengan bank konvensional. Keunggulan aspek syariah dalam bank syariah semestinya dapat dijadikan added value dan differentiation dalam persaingan meraih pasar dengan bank konvensional. Dengan menentukan konsep, nilai dan tujuannya sendiri berdasarkan semangat ekonomi Islam, bank syariah baru dapat beroperasi dengan lebih kaaffah, sesuai dengan harapan masyarakat dan tujuan keberadaan bank syariah di masyarakat.
  
Maraknya perbankan syariah ini bukan menjadi hal yang baru dalam dunia perbankan nasional. Keadaan ini tersirat dari antusiasme masyarakat dari berbagai lapisan. Mulai dari ulama, masyarakat, praktisi dan akademisi mulai melirik system perbankan yang baru muncul ini dan mulai melakukan eksplorasi terhadap aspek teori maupun praktek. Semangat dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia ini ditandai dengan lahirnya Bank Muammalat pada tahun 1992. Sekarang telah banyak bank lain yang mendirikan unit syariah, mulai dari bank plat merah seperti Bank Syariah Mandiri, BNI, BRI, Bank Jatim, BPD DKI, bank-bank swasta nasional seperti Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Mega, Bank Bukopin, Bank Permata hingga bank-bank asing yang didirikan di Negara non muslim seperti Citibank, Hongkong and Shanghai Bank (HSBC), Standard Chartered, dll.
Bank syariah beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang bersumber pada al-Quran dan al-Hadits. Bank ini memiliki system operasional yang berbeda dengan bank konvensional. Menurut Muhammad (2004), bank Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga. Bank syariah atau yang biasa disebut dengan bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan al-Quran dan hadits Nabi Saw. Maka dengan kata lain bank syariah tidak menggunakan system bunga seperti bank konvensional karena faktor mudharat dan  keharamannya yang telah ditegaskan dalam al-Quran. Sistem bagi hasil menjadi system yang menggerakkan bank syariah dalam kegiatan operasionalnya. Ada berbagai jenis system bagi hasil yang telah ditemukan oleh para praktisi dan akademisi bank syariah namun yang paling popular dan sering digunakan istilahnya adalah revenue sharing dan profit sharing. Kedua system ini memiliki sifat keadilan, transparan dan kejujuran dalam pengelolaannya. Kedua system ini diaplikasikan oleh dua jenis core product bank syariah, yaitu mudharabah dan musyarakah. Mudharabah dan musyarakah ini merupakan dua jenis akad yang mengikat dua pihak dalam sebuah perjanjian kerjasama dalam segi keuangan dan pengelolaan sebuah usaha atau bisnis. Bila dalam perjanjian kerjasama seratus persen dana ditanggung oleh salah satu pihak saja sementara seratus persen pengelolaan dikelola oleh pihak yang lainnya, maka  perjanjian kerjasama ini dinamakan akad mudharabah. Sedangkan akad musyarakah adalah sebuah perjanjian kerjasama dimana kedua belah pihak menyumbangkan uang dan tenaga dengan porsi dan batas yang telah ditentukan. Kedua jenis akad ini memiliki persentase dalam menentukan keuntungan antara kedua belah pihak yang dikenal dengan istilah nisbah.
            Perbankan syariah tidak hanya memiliki kedua akad tersebut sebagai produknya, tetapi juga masih ada beberapa akad lain yang sifatnya jual-beli, sewa, dan akad-akad lain yang bersifat fee based income. Dalam kenyataanya, akad yang sifatnya jual-beli lebih mendominasi dalam pembiayaan perbankan syariah karena dapat memberikan income yang fix bagi bank dari selisih/margin profit yang ditentukan. Seperti dinyatakan oleh Karim (2001) bahwa “hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah, sedangkan system bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua Negara, yaitu Iran (48%) dan Sudan (62%)”.
            Kenyataan ini seolah membuka pengetahuan dan wawasan kita, atau bahkan juga menambah cara pandang kita terhadap perbankan syariah, bahwa bank syariah seolah juga menginginkan fixed income seperti bank konvensional dengan instrumen bunganya. Peran dari mudharabah dan musyarakah dengan system bagi hasilnya yang notabene selama ini menjadi salah satu faktor utama yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional menjadi bias. Hal ini harus menjadi perhatian baik dari praktisi maupun akademisi dalam menelaah peran mudharabah dan musyarakah di intern bank, masyarakat sekitar dan seberapa besar kontribusinya terhadap pembangunan kelak jika keadaan seperti yang telah disampaikan diatas berlanjut atau dengan kata lain tidak berubah. Terlebih lagi bila mengingat bank syariah memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan bank konvensional dalam mengemban fungsi sosialnya dan tujuannya secara holistic.
            Harapan masyarakat, terutama masyarakat muslim, sangat besar terhadap peran, fungsi dan manfaat dari eksistensi bank syariah yang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan sekarang ini. Berbagai ekspektasi positif muncul dari factor teknis seperti factor keuntungan, kemitraan, transparansi, dan factor non teknis seperti factor religious (kepercayaan). Sehingga perbankan syariah wajib untuk terus melakukan pembenahan melalui tidakan korektif dan evaluatif tidak hanya dari intern bank, namun juga melibatkan ekstern bank.
Sekali lagi, perbankan syariah merupakan perbankan yang menganut dan menjalankan kegiatan operasionalnya berdasarkan pada syariah, nilai dan prinsip-prinsip Islam. Secara otomatis, perbankan syariah juga beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Dengan demikian, semangat yang harus dimiliki bank syariah harus sesuai dengan semangat Islam dalam memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia, maka bank syariah juga harus menjaga lima hal yang tertuang dalam maqashid asy syariah, yaitu menjaga harta (al maal), jiwa (an nafs), keturunan (an nasl), agama (ad diin) dan akal (al-aql).
Namun, ketika bank syariah memiliki kecenderungan untuk berbisnis dengan ‘zona aman’ dan meminimalisasi resiko, maka dikhawatirkan fungsi dan peran bank syariah yang diharapkan oleh masyarakat bergeser sehingga hanya menyamai fungsi dan peran perbankan konvensional. Hal ini ditandai dengan dominasi pembiayaan berjenis murabahah (seperti yang telah disebutkan diatas) yang memiliki keuntungan  lebih fix dan stabil ketimbang keuntungan yang diperoleh apabila bank syariah menjadikan mudharabah ataupun musyarakah menjadi pembiayaan yang dominan. Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya (Antonio:2007). Namun selebihnya bank syariah memiliki perbedaan yang fundamental bila dibandingkan dengan bank konvensional. Berikut ini akan menjelaskan hal-hal yang diharapkan kepada bank syariah dan akan langsung dijelaskan kecenderungan penyimpangan perilaku bank syariah terhadap nilai dan tujuan-tujuan syariah:

1)   Bank syariah dibebani sebuah harapan yaitu sebagai pemersatu hubungan antara sektor moneter dan sektor riil.
             Saat terjadi krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat dan mengakibatkan penularan krisis keuangan di beberapa Negara dunia di tahun 2008, banyak pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa hal itu terjadi akibat transaksi yang terjadi di pasar derivative tanpa disertai dengan underlying asset yang jelas. Lalu kita juga mengenal apa yang disebut dengan economic bubbles yang menggambarkan rapuhnya fondasi perekonomian suatu Negara karena terjadi ketidakseimbangan antara sektor moneter dengan sektor riil. Kehadiran sistem ekonomi syariah, termasuk kehadiran perbankan syariah, seharusnya mampu memberikan solusi terbaik atas berbagai permasalahan ekonomi yang muncul. Perbankan syariah diharapkan mampu memberikan model keseimbangan antara sector moneter dan sector riil dengan berbagai prinsip, nilai dan sistem yang dimiliki. Berikut adalah kutipan dari “Sekilas Perbankan Syariah” yang diunduh dari situs BI (www.bi.go.id) “Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.” Dan berikut ini adalah visi dan misi dalam cetak biru yang dikeluarkan Bank Indonesia: “
-Berdasarkan nilai-nilai syariah, visi pengembangan perbankan syariah di Indonesia adalah: “Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong-menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemashlahatan masyarakat”-
       Namun, kekhawatiran akan ketidaksanggupan bank syariah memberikan model keseimbangan antara sector moneter dan sector riil terjadi apabila porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang notabene akan langsung menyentuh sektor riil hanya menjadi porsi yang kecil dibandingkan porsi pembiayaan murabahah (terlebih untuk pembiayaan investasi dalam pasar modal, contohnya seperti pada commodity murabahah program). Bila ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa perilaku bank syariah sudah menyimpang dari tujuan untuk mendorong sector riil melalui mudharabah atau musyarakah.

2)   Bank syariah memiliki slogan “profit and loss sharing” sebagai pembeda bila dibandingkan dengan bank konvensional.
             Semangat “profit and loss sharing” akan diragukan oleh masyarakat, akademisi dan praktisi bisnis syariah apabila bank syariah tidak mau memberikan porsi besar kepada pembiayaan mudharabah/musyarakah/pembiayaan lain yang bersifat uncertainty contract, dalam mengambil keputusan-keputusan bisnisnya. Saat ini perkembangan pembiayaan yang menganut sistem bagi hasil menurut Warde (1999: 199) hanya mencapai 15% per tahun. Pertumbuhan share keuangan perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2002 untuk pembiayaan mudharabah sebesar 14,33%, pembiayaan musyarakah sebesar 2,86%, dan pembiayaan murabahah sebesar 72,21% (Mujiyanto, 2004: 15).
            Apabila hal ini terus menerus terjadi, bank syariah dapat kehilangan jati dirinya dan mungkin saja secara tidak langsung memungkiri nilai-nilai yang telah mereka tentukan sendiri saat awal pembentukan. Prinsip seperti kemitraan, keterbukaan, kepercayaan seolah sia-sia bila porsi pembiayaan murabahah masih menjadi yang terbesar, dan jauh lebih besar bila dibandingkan pembiayaan yang memiliki sistem dan semangat “profit and loss sharing”. Dampak dari hal ini adalah menurunnya perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional sehingga masyarakat merasa sama saja menabung di bank syariah atau di bank konvensional. Masyarakat yang berada dalam floating market, yang memiliki potensi pasar sebesar 720 trilliun (menurut Karim Business Consulting), mungkin saja akan lebih memilih bank konvensional yang sudah jelas kelengkapan layanannya. Masyarakat yang menjadi conventional loyalist tidak tergerak dan menjadi lebih tidak tertarik menabung di bank syariah, sedangkan sharia loyalist mungkin akan tetap bertahan atau mungkin juga menarik dananya dari bank syariah karena merasa unsur kepuasan religious dan harapannya terhadap bank syariah tidak terpenuhi.
    
3)   Bank syariah harus menaati aturan syariah yang terdapat pada fiqh muammalah dalam setiap produk keuangannya.
            Salah satu produk perbankan syariah yang sedang mendapat sorotan tentang kesesuaiannya dengan syariah adalah commodity murabahah program. Commodity murabahah program merupakan proses jual beli saham/surat berharga yang dilakukan antara nasabah, bank dan broker dalam sebuah skema tertentu. Pada produk ini, bank berperan sebagai agen yang mewakili nasabah melakukan pembelian saham kepada broker A dan mewakili lagi nasabah yang sama untuk menjual saham yang telah dibeli dari broker A kepada broker B setelah ditambah margin tertentu. Bank akan mendapatkan fee dari nasabah atas jasa tersebut. Setelah dilakukan penelitian, ternyata produk ini memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
·         Belum dimilikinya objek transaksi. Hal ini terjadi karena jual beli produk CMP terjadi di bursa sedangkan jual beli yang dilakukan di bursa bukanlah jual beli yang memenuhi standar syariah karena komoditas tersebut belum dimiliki dan belum on hand, hanya berupa janji untuk melakukan jual beli komoditas dimasa yang akan datang.
·         Penentuan margin keuntungan yang fix sebelum jual beli yang sesuai dengan syariah terjadi. Tentunya hal seperti ini dilarang oleh syariah mengingat adanya prinsip “al ghorm bil ghonm” (no return without risk) dan “al kharaj bi dhaman” (no pain no gain).
·         Bentuk simpanan nasabah sebagai modal kepada bank untuk melakukan pembelian komoditas masih belum jelas karena penghimpunan dana yang didasarkan oleh transaksi murabahah tidak ada dasar fatwanya (di Indonesia).
      Jika produk ini tidak dilakukan pengkajian ulang tentang aturan mainnya untuk disesuaikan dengan syariah, maka bank syariah seolah menyamai perilaku bank konvensional yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan resiko yang seminimal mungkin atau bahkan tanpa resiko. Sedangkan syariah Islam jelas melarang berbagai keuntungan yang diperoleh tanpa adanya resiko. Praktek commodity murabahah dalam bentuk deposit mirip dengan certificate of deposit bank konvensional yang dapat menimbulkan tindakan spekulatif dari para pelakunya. Jika tindakan spekulatif terjadi di institusi keuangan syariah, maka jelas tidak layak institusi tersebut memakai kata ‘syariah’ lagi pada brand/mereknya.

4)   Pembiayaan yang cenderung memilih pengusaha yang memiliki jaminan yang proporsional bila dibandingkan dengan jumlah pinjaman.
      Berikut adalah kutipan dari “Sekilas Perbankan Syariah” yang diunduh dari situs BI (www.bi.go.id) “Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali”. Pada kalimat terakhir, terdapat kata-kata yang sangat baik bila diterapkan dalam praktek operasional perbankan syariah, yaitu “….Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali”. Namun, kenyataan yang terjadi sekarang, belum semua golongan masyarakat mampu mengakses pembiayaan di bank syariah, terutama pengusaha-pengusaha kecil yang memang masih belum memiliki jaminan/asset yang memadai untuk diberikan pinjaman apabila dilihat dari sudut pandang bank konvensional. Jadi semestinya bank syariah tidak berperilaku sama dengan bank konvensional, melihat tujuan dari eksistensi bank syariah yang telah ditetapkan BI, maupun diharapkan dari teori ekonomi syariah jelas berbeda bila dibandingkan bank konvensional.
           
            Kecenderungan bank syariah cenderung berperilaku seperti bank konvensional dalam beberapa hal tersebut memang tidak lepas dari pengaruh factor-faktor internal maupun eksternal bank syariah. Dalam makalah ini saya akan mencoba menganalisis factor-faktor tersebut sebagai berikut:
Faktor Internal:
1.      Masih kurangnya sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kapabilitas di bidang syariah.
      Hal ini menyebabkan terjadinya misinterpretasi atau kesalahpahaman antara nilai, tujuan dan konsep dengan praktek yang terjadi dalam perbankan syariah. Hal ini wajar saja terjadi karena memang sumber daya yang bekerja di perbankan syariah saat ini masih berasal dari mantan karyawan bank konvensional atau tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai untuk dapat membawa nilai dan tujuan yang mendasar dari kehadiran perbankan syariah sebagai bagian dari lembaga keuangan bank yang muncul dari sistem ekonomi syariah. Menurut Heri sudarsono (2008), sebagian besar sumber daya manusia di perbankan syariah –terutama bank konvensional yang membuka Islamic windows- berlatar belakang disiplin ilmu ekonomi konvensional. Menurutnya, keadaan ini mengakibatkan akselerasi hokum Islam dalam praktek perbankan kurang cepat dapat diakomodasikan dalam sistem perbankan, sehingga kemampuan pengembangan bank syariah menjadi lambat.
2.  Pimpinan bank, stockholder dan stakeholder bersikap risk aversion dalam mengambil keputusan-keputusan bisnis bank syariah.
      Islam memiliki prinsip “al ghorm bi ghonm” (no return without risk) dan “al kharaj bi dhaman (no pain no gain). Tidak boleh mengambil keuntungan tanpa resiko, dan tidak boleh mendapatkan hasil tanpa ada yang dikorbankan. Melalui prinsip inilah Islam mendorong umatnya untuk berani mengambil resiko dalam kehidupan selama itu dilakukan demi manfaat/maslahah, termasuk dalam berbisnis. Apabila prinsip ini dipraktekkan dalam bisnis, maka setiap transaksi bisnis akan terhindar dari unsur kedzaliman dan ketidakadilan. Bunga bank diharamkan, salah satu faktornya adalah tidak memenuhi prinsip ini sehingga dikhawatirkan terjadi ketidakadilan dan kedzaliman. Di satu pihak bisa dipastikan untung, dan pihak lainnya belum tentu akan mendapat keuntungan. Disinilah kita akan merasakan keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam. Bank syariah sebagai bank yang dioperasikan berdasarkan pada Al-Quran dan Hadits, berdasarkan nilai-nilai Islam, tentunya juga harus menyetujui dan mempraktekkan prinsip ini. pabila tidak, maka bisa dikatakan bank syariah tidak berjalan sesuai dengan salah satu prinsip syariah Islam dalam bermuamalah tersebut. Dan mungkin saja dapat dikatakan berperilaku sama seperti bank konvensional dengan instrument bunga banknya, yang mungkin saja ada pihak yang terdzalimi bila bank syariah tidak mempraktekkan kedua prinsip tersebut dalam menjalankan bisnisnya. Ini bukan berarti bank syariah menjadi tidak prudent. Bank syariah tetap harus berhati-hati, namun bukan menolak adanya resiko usaha dengan meminimalisir porsi produk profit and loss sharing-nya, dan meningkatkan porsi produk-produk yang memberikan fix income dan fee based income yang memiliki sedikit resiko.

Faktor eksternal:
1.      Terpisahnya pengetahuan perbankan syariah dengan ilmu ekonomi syariah
      Dalam ilmu ekonomi syariah, perbankan syariah hanyalah merupakan sub topic dari ‘Lembaga Keuangan Syariah’. Beberapa sub topic lain adalah pegadaian syariah, bank perkreditan rakyat syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dsb.  Ilmu ekonomi syariah secara menyeluruh, akan memiliki satu tujuan, yaitu tercapainya falah (kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat) dengan jalan mencari maslahat yang optimum dan menhindari mudharat/mafsadah dalam menjalani aktivitas kehidupan, terutama di bidang muammalah. Untuk mencapai itu, maka ilmu ekonomi syariah selalu menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan ketidak-adilan, ketidakmerataan, kedzaliman, kemaksiatan dan kemungkaran, Semua ini diupayakan agar tercipta masyarakat Islami yang sejahtera. Apabila praktisi perbankan saat ini hanya memahami ‘perbankan syariah’ saja sebagai lembaga bisnis, yang terpisah dari values yang dimiliki ilmu ekonomi syariah, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku bank syariah dari nilai dan tujuan eksistensi bank syariah akan cukup besar. Hal ini dikarenakan bank syariah itu sendiri muncul dengan sistem yang bersumber dari nilai-nilai ilmu ekonomi syariah.
2.      Persaingan dengan bank konvenional
      Market share bank syariah di Indonesia saat ini, relatif masih kecil, masih 1,6 ‎‎%. dari total asset bank secara nasional (Data BI Februari 2007). Menurut Siti ‎Fajriyah, salah seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia, jumlah nasabah Bank ‎syariah saat ini, baru sekitar 2 juta orang. Padahal jumlah umat Islam potensial untuk ‎menjadi customer bank syariah lebih dari 100 juta orang. Hal ini mungkin dapat memicu perbankan syariah untuk lebih giat dalam meningkatkan pasarnya. Namun hal ini dapat juga menyebabkan bank syariah menjadi ‘terburu-buru’ dalam mengambil keputusan-keputusan operasional bisnisnya, mana yang menguntungkan bank akan disetujui dan sebaliknya, agar bank dan nasabah penabung/deposan mendapatkan imbalan yang besar. Jika nasabah penabung mendapat imbalan yang besar maka masyarakat umum, terlebih masyarakat yang profit oriented, akan tertarik untuk menjadi nasabah bank syariah. Tidak menjadi masalah apabila bank syariah mendapatkan pemasukan yang rata dari berbagai produk yang dimilikinya. Namun bila ternyata bank syariah lebih memilih meningkatkan keuntungannya melalui produk yang memberikan fix income daripada melalui produk yang mengandung resiko dan ketidakpastian (seperti mudharabah dan musyarakah), maka disinilah penyimpangan yang dilakukan bank syariah terhadap nilai dan tujuan eksistensi bank syariah itu sendiri.
3.      Kurangnya akademisi dalam bidang perbankan syariah.
      Hal ini diakibatkan lingkungan akademisi lebih memperkenalkan kajian-kajian perbankan yang berbasis pada instrument konvensional. Kondisi ini lebih disebabkan lingkungan pendidikan kita lebih familiar dengan literature-literatur ekonomi konvensional disbanding literature ekonomi Islam/syariah (Heri Sudarsono:2008). Secara langsung ataupun tidak. kajian-kajian ilmiah mengenai eksistensi bank syariah dan instrument-instrumen syariah kurang mendapat perhatian. Bila hal ini tidak segera menjadi perhatian, maka keberadaan bank syariah seolah tidak mendapatkan dukungan dan legitimasi secara ilmiah dari masyarakat.

4.      Pemahaman masyarakat yang ingin mendapatkan imbalan yang besar dan imbalan yang  fix seperti yang mereka dapatkan di bank konvensional.
      Masyarakat saat ini belum memahami secara menyeluruh tentang hal-hal yang terkait dengan bank syariah seperti peran, tujuan, fungsi, dan nilai-nilai yang dimiliki bank syariah. Kebanyakan dari masyarakat hanya mengetahui secara sederhana tentang bank syariah. Contohnya seperti: bank syariah adalah bank-nya orang Islam, bank syariah adalah bank yang mengunakan sistem bagi hasil, bank syariah adalah bank yang tidak memakai bunga, bank syariah adalah bank yang menguntungkan untuk pinjam dana usaha, dsb. Pengetahuan yang begitu sederhananya sehingga kita belum bisa mengatakan bahwa masyarakat telah memahami bank syariah. Jika masyarakat belum paham akan bank syariah, maka jangan disalahkan apabila masyarakat berekspektasi secara bebas tentang bank syariah. Juga jangan salahkan apabila sebagian besar masyarakat masih suka dan secara reflek membandingkan bank syariah dengan bank konvensional secara apple to apple, secara sama persis, padahal kedua jenis bank tersebut sangat tidak bisa diperbandingkan melihat perbedaan prinsip operasional, nilai, cara pandang, tujuan, dan usia yang benar-benar berbeda. Sebagian besar masyarakat saat ini masih beranggapan bila menabung di bank akan mendapat keuntungan yang tetap berdasarkan persentase tertentu pada jumlah nominal tabungan dan periode tertentu. Hal ini dapat menyebabkan adanya usaha bank syariah untuk berusaha memenuhi anggapan sebagian besar masyarakat tersebut dengan giat mencari pendapatan yang tetap (fixed income) pula. Bila hal ini terjadi maka produk yang sifatnya uncertainty contracts seperti mudharabah dan musyarakah akan menjadi produk  yang dianggap tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat karena produk tersebut menghasilkan pendapatan yang tidak pasti bagi bank dan bagi penabung secara tidak langsung. Hal inilah yang potensial menyebabkan bank syariah akan meningkatkan produk-produk yang memberikan pendapatan tetap (seperti murabahah) dan perlahan mengabaikan profit and loss sharing system-nya, dan bila ini terjadi maka dapat dikatakan bank syariah menyimpang dari nilai dan tujuan eksistensinya.

     Bila bank syariah tidak segera melakukan edukasi dan sosialisasi secara meluas dan tepat kepada masyarakat, maka mungkin akan menyebabkan semakin lama pula pertumbuhan dan perkembangan bank syariah terhadap market share perbankan nasional. Pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Tidak mungkin masyarakat yang belum mengenal ‘apa itu bank syariah’ akan memiliki niatan untuk bergabung dengan bank syariah.

Kesimpulan
            Kondisi bank syariah saat ini dalam beberapa hal masih belum menunjukkan praktek berdasarkan nilai dan tujuan syarah secara kaaffah. Ketidakseimbangan antara proporsi produk profit and loss sharing-nya, dibandingkan dengan porsi produk-produk yang memberikan fix income dan fee based income, yang memiliki sedikit resiko, menjadi hal yang harus diperhatikan para stakeholder bank syariah karena hal ini potensial untuk membuat perilaku bank syariah menjadi bergeser dari tujuan eksistensinya di tengah-tengah perekonomian dan masyarakat.

Saran
1.      Bank syariah harus meningkatkan porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah agar terjadi harmonisasi antara sector keuangan dengan sector riil.
2.      Bank syariah harus meningkatkan pengetahuan para pengelolanya, bukan hanya dibidang perbankan, tetapi juga pengetahuan tentang ilmu ekonomi syariah sehingga bank syariah dapat dikelola lebih baik dan sesuai dengan tujuan eksistensi bank syariah.
3.      Edukasi dan sosialisasi tentang perbankan syariah kepada masyarakat perlu digiatkan agar tercipta keselarasan semangat, kesamaan cara pandang dan kesatuan tujuan demi tercapainya falah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar